Suasana Youth Centre Sleman yang dipakai untuk penampungan warga eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) tampak ramai. Meskipun hanya 248 orang eks Gafatar yang ditampung, tapi banyak pula aparat keamanan dari kepolisian maupun tentara. Juga banyak pegawai dinas sosial dan dinas terkait, juga petugas kesehatan dan Taruna Tanggap Bencana.
Ada yang berbeda di masjid yang ada di lokasi itu. Saat azan berkumandang, lalu salat berjemaah, hanya para petugas saja yang menunaikan salat. Dari ratusan anggota eks Gafatar itu hanya satu yang ikut dalam salat. Begitu pula di aula penampungan, tidak tampak yang menunaikan salat.
"Mayoritas mereka muslim, kan. Kami mengamati, hanya satu yang ikut salat," kata Kepala Seksi Bantuan Kesejahteraan Bencana Alam Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta Sigit Alfianto, Minggu, 31 Januari 2016.
Tidak hanya dalam sekali waktu salat saja. Namun setiap salat lima waktu hanya satu orang dari ratusan anggota eks Gafatar yang ikut dalam salat, baik berjemaah atau salat sendiri. Padahal jarak masjid dengan aula penampungan sangat dekat, hanya beberapa langkah. Karena terletak di tengah Youth Center.
Perlengkapan yang disiapkan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menampung para eks Gafatar sudah bisa dibilang lengkap. Dari tempat tidur hingga keperluan mandi, cucu, kakus (MCK) pun lengkap. Dapur umum selalu siap. Petugas kesehatan juga siap menangani jika ada yang mengeluh sakit.
"Tapi ada yang bilang kaliren (sangat kelaparan) dan itu dimuat di koran. Anda tahu sendiri makanan berlimpah. Tidak hanya untuk mereka, petugas juga kami sediakan. Mosok ada yang kaliren," kata Sigit.
Salah satu bukti lagi eks anggota Gafatar tidak salat meskipun muslim diakui oleh Heru Alfian, salah satu warga yang ikut eksodus ke Kalimantan Barat. Namun ia tidak mau mengungkapkan alasan tidak salat lagi.
Namun, orang tuanya mengakui, setelah ikut Gafatar anaknya itu tidak salat lagi. Padahal sebelumnya tergolong rajin salat dan beribadah. "Dulu dia pernah ikut Gafatar. Tapi kami mengira susah keluar," kata Ningsih, orang tua Heru, yang menjenguk di Youth Centre.
Awalnya, ia bercerita, anaknya itu minta uang Rp 5 juta untuk bertani menanam bawang merah di daerah Godaan, Sleman. Ternyata ia berangkat ke Kalimantan pada 23 Desember 2015 dengan menggunakan kapal laut. "Istrinya tidak boleh bawa mukena," katanya sangat sedih.
Heru yang masih mengenali Tempo karena sudah lama kenal menyapa duluan. Ternyata ia mengaku sudah tidak salat lagi. Namun tidak mau mengungkapkan alasannya. Namun ia mengaku memang ikut eksodus ke Mempawah, Kalimantan Barat, untuk bertani. "Ada koordinatornya saat berangkat," katanya sambil terburu masuk ke penampungan lagi.
0 comments:
Post a Comment