Setelah Facebook, Twitter, Instagram, dan Path, kini giliran Snapchat unjuk gigi. Layanan berbagi video dan foto tersebut bisa jadi tren baru di kalangan netizen Indonesia.
Hal ini diamini pengamat teknologi, Aulia Masna. Sejak awal tahun ini, Aulia mulai menjajal Snapchat dan mengerti letak keseruan layanan tersebut.
Menurutnya, bermain Snapchat seperti kembali ke Twitter saat microblogging tersebut masih hijau di ranah maya. Kontennya terkait kegiatan sehari-hari, cerita pribadi dan keluarga, serta hal-hal lucu di lingkungan sekitar.
"Terlebih, Snapchat juga bersih dari muatan politik,'' kata pria yang juga menjabat Redaktur AdDiction.id ini kepada KompasTekno, Selasa (23/6/2015).
Lebih dari itu, Aulia menilai Snapchat menjadi lebih menarik bagi remaja karena belum banyak orang tua yang menggunakannya. Beda halnya dengan Facebook dan Twitter yang menjadi andalan orang dewasa.
"Para remaja lebih bebas berekspresi dan berkomunikasi antar mereka sendiri (di Snapchat)," kata Aulia.
Lain pula keseruan bermain Snapchat menurut Galih Soedirdjo. Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) ini menilai, Snapchat mengakomodir kebutuhan masyarakat modern untuk berbagi hal apapun tanpa topeng pencitraan.
"Aku nggak malu kalau selfie kebanyakan (di Snapchat),'' kata Galih.
Sebab, konten yang diunggah hanya bertahan 10 detik. Setelahnya, konten otomatis terhapus dan tak bisa lagi diakses teman.
Memang, konten yang diunggah bisa lebih langgeng jika pengguna memasukkannya ke "Story" untuk dibagi ke semua teman.
Tapi, tetap saja penggalan-penggalan video dan foto di "Story" hanya bertahan selama 24 jam. Setelahnya, konten juga bakal lengser.
Karakteristik Snapchat yang tak lama-lama menyimpan masa lalu merupakan daya tarik bagi Catrina Sinaga.
"Semua yang konyol seakan dilegalkan. Nggak ada tekanan juga untuk suka atau nggak suka dengan unggahan orang," kata gadis 21 tahun yang baru sepekan bermain Snapchat.
Intinya, di Snapchat, pengguna tak perlu pikir panjang atas konten yang ingin dibagi. Toh konten tak akan lama bertengger dan dilihat pengguna lain.
Beda halnya dengan Instagram dkk. Saat mengunggah foto dan video, konten tersebut akan terpatri selama pengguna tak menghapusnya.
Alhasil, tiap konten yang dibagi harus benar-benar dipikirkan secara seksama. "Foto ini cukup artistik, kah? Selfie ini cukup ganteng atau cantik, kah? Kalau diunggah, banyak yang like, kah?" begitu kira-kira.
Bulan lalu, jumlah pengguna aktif global harian Snapchat dilansir hampir mencapai 100 juta pengguna. Angka itu sebanding dengan pengguna harian aktif Facebook.
Untuk Indonesia, belum ada data resmi yang menunjukkan pertumbuhan pengguna Snapchat. Namun, layanan tersebut mulai ramai diperbincangkan di Twitter dan Ask.fm.
Snapchat disebut lebih banyak dilirik anak muda yang selalu ingin terkoneksi di manapun dan kapanpun. "Sebagai generasi millennial yang narsis dan fomo (fear of missing out), Snapchat cocok buat aku,'' kata Galih terkekeh.
Galih pun mengklaim Snapchat bakal jadi platform favorit untuk remaja kekinian. Bahkan, mungkin bisa menyaingi kiprah Instagram dkk.
Setidaknya, gejala itu yang tampak di lingkaran pertemanan Galih. "Teman aku banyak banget yang pakai Snapchat. Hampir semuanya, deh," ia menandaskan.
0 comments:
Post a Comment